JAKARTA – Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menyetujui sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Salah satu pemohon dalam gugatan ini adalah Partai Buruh.
Salah satu aspek yang dipermasalahkan dalam gugatan tersebut adalah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Aturan terkait tertuang dalam Pasal 151 Ayat (4) pada Pasal 81 angka 40 lampiran UU Cipta Kerja.
Menurut MK, terdapat frasa dalam pasal tersebut yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, terutama dalam hal “pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial.”
Pasal tersebut mengatur ketentuan bagi pekerja yang terkena PHK tetapi menolak keputusan tersebut. Jika perundingan bipartit menemui jalan buntu, maka penyelesaian harus melalui mekanisme Perselisihan Hubungan Industrial.
“Menyatakan frasa ‘pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial’ dalam Pasal 151 ayat (4) pada Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945,” demikian bunyi putusan MK.
Dalam keputusan barunya, MK mengubah aturan tersebut dengan memberikan kejelasan mengenai mekanisme yang harus ditempuh oleh perusahaan saat akan melakukan PHK terhadap karyawan.
MK menyatakan bahwa PHK hanya boleh dilakukan setelah adanya keputusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang sifatnya mengikat dan memiliki kekuatan hukum tetap.
“…tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap,” demikian bunyi putusan MK. ***
Sumber: CNBC Indonesia