BANDA ACEH – Ombudsman RI bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh melaksanakan kegiatan diskusi terkait perizinan penangkapan ikan terukur (PIT) yang baru saja diluncurkan oleh pemerintah.
Hadir dalam pertemuan tersebut Kepala PSDKP Aceh, Pengusaha Perikanan, perwakilan dari Panglima Laot, akademisi, perwakilan nelayan, dan lainnya. Selain dilaksanakan secara langsung, kegiatan ini juga berlangsung secara hybrid.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di aula DKP Aceh pada Jumat (25/8) yang dibuka langsung oleh Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh.
Kegiatan ini bertujuan untuk menyerap aspirasi dari masyarakat terkait regulasi baru di bidang penangkapan ikan, regulasi ini mengatur terkait penataan ruang dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan.
Dalam sambutannya, Aliman, Kepala DKP Aceh menyebutkan saat ini masih ada tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah. Khususnya di Aceh, karena memiliki aturan tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang kemudian dilanjutkan dengan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2010 tentang Perikanan sebagai turunannya.
“Ini perlu kita padu padankan terkait regulasi yang ada, karena saat ini masih tumpang tindih peraturan,” papar Aliman.
Kendala lainnya, Aliman menyebutkan adanya kapal yang tidak tercatat di dalam sistem di kementerian. Oleh karenanya, ada kapal yang akhirnya dicatat secara manual.
“Untuk saat ini, walaupun regulasi baru sudah berjalan, namun masih ada kendala di proses perizinan. Sehingga sementara waktu, kita masih menggunakan perizinan yang lama,” tambah Aliman.
Aliman menambahkan, pada peraturan baru, untuk biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ini sangat memberatkan masyarakat. Sehingga ini terjadi penolakan dari para nelayan.
Sementara itu, Dian Rubianty Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, dalam paparannya juga menyampaikan bahwa ada keluhan dari penyelenggara pelayanan itu sendiri terkait proses perizinan di bidang perikanan.
“Perizinan terkait perikanan di sistem Online Singgle Submision (OSS) masih terkendala, sehingga ini perlu disinkronisasi,” ujar Dian.
Dian juga mengungkapkan bahwa kendala ini perlu segera ditindaklanjuti, karena proses perizinan merupakan pelayanan publik kepada masyarakat. Sehingga meminimalisir terjadinya maladministrasi dan juga untuk kesejahteraan nelayan dengan memudahkan proses perizinan.
Pada kesempatan tersebut, Saputra Malik Asisten Ombudsman RI dari KU V yang konsen di bidang kelautan dan perikanan menyampaikan bahwa aturan baru yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur masih terdapat beberapa potensi maladministrasi dalam penerapannya.
Meliputi parameter penetapan kuota, kesiapan sistem informasi digital dalam transparansi kuota, dan kewenangan pemberian kuota oleh Menteri dan Gubernur, serta status nelayan kecil yang dapat memohon kuota industri.
Kepala PSDKP Aceh, Sahono Budianto, dalam pertemuan tersebut juga menyampaikan bahwa saat ini terkait regulasi penangkapan ikan terpadu masih berupa Peraturan Pemerintah (PP), jadi masih berproses untuk turunannya berupa Peraturan Menteri (Permen).
“Dalam PP tersebut, 12 mil ke bawah merupakan kewenangan Gubernur, dan di atas 12 mil merupakan kewenangan Kementerian,” ungkap Sahono.
Selanjutnya Sahono juga menyampaikan, terkait PNBP yang besaran 5 persen dan 10 persen masih dalam proses, dan kemungkinan akan ada perubahan. Karena dianggap terlalu besar oleh para nelayan.
Untuk migrasi perizinan penangkapan ikan, Sahono mengatakan itu adalah pilihan, bukan merupakan kewajiban. Namun dia menghimbau agar nelayan menyesuaikan lokasi penangkapan dengan izin yang dikantongi.
Menyikapi regulasi baru tersebut, Miftahuddin, dari Panglima Laot Aceh telah duduk bersama dengan pengusaha perikanan dan para nelayan serta telah menyerap aspirasi nelayan secara langsung ke daerah. Terkait hasil pertemuan tersebut, pihak Panglima Laot telah menyampaikan juga ke pihak DPRA.
“Kalau berdasarkan hukum adat, nelayan boleh melaut sejauh mata memandang, tidak ada batasan. Kecuali mamasuki batasan negara lain,” sebut Miftahuddin Cut Adek.
Pihak Panglima Laot juga menyampaikan agar regulasi yang dibuat oleh pusat agar berkoordinasi dengan daerah dan menyerap aspirasi masyarakat, karena masing-masing daerah memiliki kebijakan tersendiri, sehingga tidak tumpang tindih.
Faisal Syahputra, selaku akademisi Universitas Abulyatama Aceh yang hadir via zoom meeting juga menyampaikan beberapa keluhan masyarakat, khususnya proses perizinan yang terlalu ribet dan berbelit-belit menurutnya.
Faisal mengharapkan agar ke depan proses perizinan khususnya di bidang perikanan agar lebih mudah, murah dan cepat.
Salah satu pengusaha perikanan Tarmizi atau yang akrab disapa toke Midi, juga mengeluhkan regulasi penangkapan ikan terpadu tersebut. Karena 12 mil laut menurutnya, laut Aceh masih banyak terumbu karang dan jarang ada ikan besar. Sehingga hasil tangkapan sangat minim.
“Belum lagi kalau di wilayah pantai timur, Aceh berbatasan langsung dengan Malaysia. Maka zona tangkapan nelayan sangat kecil,” sebutnya.
Menutup diskusi tersebut, Aliman berharap ketika aturan baru ini nanti dijalankan maka harus ada penambahan jumlah petugas di setiap pelabuhan.
“Kami selaku penyelenggara pelayanan tidak ingin menzalimi rakyat, malahan kita ingin mensejahterakan masyarakat. Kita berharap aturan tersebut akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik,” pungkas Aliman. (Rill/Cr).