RUSIA – Rusia baru saja merilis alutsista terbaru, yaitu sebuah pesawat tanpa awak atau drone yang dirancang untuk digunakan dalam situasi perang nuklir.
Dikenal sebagai ‘drone kiamat’ oleh Russia Today (RT), perangkat ini dikembangkan oleh Center of Comprehensive Unmanned Solutions Rusia.
Direktur pusat tersebut, Dmitry Kuzyakin, menyebut drone bernama ‘Khrust’ ini mampu memantau tingkat radiasi dan memastikan keselamatan personel di area yang berpotensi terkontaminasi.
Drone Khrust adalah perangkat kecil yang dilengkapi dengan berbagai jenis peralatan, termasuk sensor untuk mendeteksi zat beracun dan dosimeter khusus.
Dengan kemampuan manuver yang tinggi, drone ini dapat menjelajahi setiap sudut dan celah di lingkungan terkontaminasi.
Secara durabilitas, Khrust dapat tetap mengudara selama 20 menit sambil bermanuver secara aktif dan memiliki jangkauan operasi antara 500 meter hingga 2 kilometer, tergantung tingkat kontaminasi area tersebut.
“Drone ini dapat dikerahkan dalam waktu 30 detik dan dikendalikan dari kendaraan tertutup saat bergerak. Khrust mampu memeriksa tingkat kontaminasi di sepanjang rute melalui area yang terkena serangan nuklir, serta menganalisis episentrum serangan nuklir di kota-kota dan di darat,” jelas Kuzyakin pada Senin (5/8/2024).
Kuzyakin menyebutkan bahwa Rusia telah memiliki UAV untuk pengintaian radiologis, kimia, dan biologis, namun harganya cukup mahal dan sering kali lambat dikerahkan, sementara militer di darat membutuhkan penilaian situasi dengan cepat.
Penggunaan drone telah menjadi dominan dalam konflik antara Rusia dan Ukraina, di mana kedua belah pihak mengandalkan alat tanpa awak ini untuk pengintaian, pengendalian tembakan, dukungan udara jarak dekat, dan serangan jarak jauh terhadap infrastruktur.
“Saya berharap bahwa akal sehat akan menang, dan dunia tidak akan mengizinkan penggunaan senjata nuklir. ‘Drone Kiamat’ kita tidak akan pernah dibutuhkan. Namun, kami merasa wajib untuk mempersiapkan skenario terburuk,” tegas Kuzyakin.
Peluncuran drone ini terjadi di tengah memanasnya hubungan antara Rusia dan NATO akibat perang di Ukraina. NATO, yang mendukung Ukraina, dianggap sebagai pihak yang tidak bersahabat oleh Moskow.
Situasi ini telah meningkatkan retorika perang nuklir antara kedua kekuatan. Rusia menyatakan kemungkinan penggunaan senjata nuklir jika terdesak di Ukraina, sementara NATO terus mengalirkan bantuan senjata dan ekonomi ke Kyiv.
Baru-baru ini, Rusia melakukan latihan nuklir non-strategis sebagai respons terhadap apa yang dianggap Moskow sebagai eskalasi oleh Barat dan pelanggaran NATO terhadap perbatasan Rusia.
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina ini dipandang oleh sebagian analis sebagai potensi menuju Perang Dunia Ketiga. Keterlibatan beberapa negara Barat anggota NATO dalam membantu Ukraina menambah kerumitan situasi.
Propaganda nuklir dari Moskow juga meningkat, dengan ancaman peluncuran senjata berbahaya jika Barat melakukan intervensi langsung di Ukraina yang mengancam wilayah Rusia.
Sejarawan militer Jenderal Sir Patrick Sanders menyatakan bahwa ancaman perang ini sudah tampak nyata. Beberapa analisis menunjukkan bahwa jika Rusia mengalami kekalahan jangka panjang, Presiden Vladimir Putin mungkin akan mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir jika diperlukan. ***
Sumber: CNBC Indonesia